Yang Muda yang Mengawal Pemilu

Irzandi Ali
3 min readMay 10, 2023

--

Alur Pemilihan Umum 2024 sejauh ini telah berjalan. Kita semua tahu Indonesia sudah memasuki tahun politik. Berbagai persiapan telah dilakukan guna mensukseskan Pemilu tahun depan.

Indonesia sebagai negara demokrasi yang partisipatif memberikan ruang sepenuhnya bagi warga negara secara langsung untuk memilih. Oleh karena itu, masyarakat berueforia dan terpanggil guna menyampikan aspirasi dan menentukan hak politiknya.

Pemilu secara langsung sebagai agenda rutin untuk mengklaim sebagai negara demokrasi, sejak tahun 2004 pemilu dilaksanakan, artinya sudah dua dekade Indonesia merayakan demokrasi lewat pemilihan dengan bertumpu di tangan rakyat.

Terhitung sejak itu, sudah empat kali Indonesia menggelar pemilu yaitu 2009, 2014, 2019 dan kini kita menatap 2024. Permasalahan acapkali terjadi meski pelaksanaan pemilu sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017. Namun pelaksanaan pemilu sering berbenturan dengan berbagai permasalahan yang kemudian menjadi obrolan di ruang-ruang publik termasuk di media sosial.

Pemilu tahun 2024 diprediksi mengalami fase pemuncakan demografis untuk pemilih yang berusia 19–24 tahun. Dalam rentan usia itu mereka adalah pemilih yang lahir diawal 2000-an yang biasa disebut dengan Generasi Z. Mereka digadang-gadang akan menjadi suksesi pemilu kali ini.

Sebagai generasi yang tumbuh besar dengan teknologi. Generasi Z amat bertumpu pada teknologi khususnya untuk menyumplai informasi melalui media sosial mereka. Dengan begitu keberlangsungan demokrasi kita hari ini berada di tangan generasi Z yang melek teknologi. Sehat atau tidaknya.

Sinisme bermunculan, menyoal demokrasi dihadapan media sosial. Majalah “The Econimist” dalam edisi November 2017 dalam artikelnya berjudul ‘Social media’s threat to democrazy’ tak ragu-ragu menyebut media sosial menjadi ancaman demokrasi hari ini.

Media sosial yang dianggap akan memberikan pencerahan baik pada dunia politik, penyampaian informasi yang akurat dan komunikasi yang intens untuk memerangi kebodohan dan mengungkapkan kebohongan, bisa dikatakan tidak selalu berjalan sebagaimana mestinya.

Berita palsu begitu bejibun di media sosial, media sosial yang kerap dianggap akan menjadi ruang untuk mengkompromi perbedaan malah sering memecah belah dan membuat jurang yang melebar untuk kita tidak saling respek. Segregasi pun kian melebar.

Tom Nichols dalam bukunya “Matinya Kepakaran” menyebut di zaman sekarang teknologi bukan hanya menciptakan lompatan pengetahuan tapi menjadi sarana menyerang pengetahuan yang mapan. Internet mengizinkan penyebaran informasi bohong oleh berbagai kelompok.

Seumpama kita berkelana di dunia maya, missinformasi kerap ditemui, peran pakar ditiadakan, informasi benar disangkal lalu kemudian kedunguan dibanggakan. Lebih ironisnya pandangan itu dibenarkan dengan informasi yang mereka temui, lalu dibagikan begitu cepatnya.

Jika meneroka pemilu 2024 Generasi Z tentu memiliki peran krusial bukan hanya jumlah pemilih dari kategori usia mereka tapi juga memiliki kekuatan untuk memperbaiki kondisi demokrasi kita hari ini. Jumlah Generasi Z untuk pemilu 2024 sangat subtansial, 40 persen penduduk Indonesia sekarang memasuki usia itu. Bukan jumlah yang sedikit.

Dengan jumlah itu mereka memiliki kekuatan yang cukup tinggi, sangat disayangkan jika mereka hanya menjadi target marketing dalam pada pemilu nanti. Dan bukan tidak mungkin pola perilaku Generasi Z yang fluktuatif akan membawa mereka menjadi tidak peduli, sehingga menjadi apatis pada ajang pemilu.

Partisipasi mereka dalam pemilu diperlukan untuk mengembalikan marwah demokrasi yang beberapa tahun ke belakang punya catatan-catatan buruk dengan mendorong mereka untuk menjadi ‘subjek’ dan tidak menggapa dirinya sebagai ‘objek’.

Mendorong kesadaran untuk memilih dan mengawal jalannya pesta demokrasi sebagaimana mestinya. Dengan begitu kita bisa menatap dengan optimesme pesta demokrasi tahun depan. Ayo kita kawal bersama!

--

--