Penambahan Masa Jabatan Kepala Desa hanya Melanggengkan Korupsi dan Oligarki?

Irzandi Ali
3 min readJul 3, 2023

--

Aksi demontrasi kepala desa menuntut penambahan masa jabatan. Foto: Antara.

Wacana penambahan masa jabatan kepala desa saat ini telah bergulir dan menjadi obrolan di tengah-tengah masyarkat, bagaimana tidak pemerintahan dilingkup desa begitu dekat dengan kita di mana setiap kebijakan yang diterapkan akan berdampak langsung bagi keberlangsungan hidup kita, tidak seperti dengan pemerintahan di pusat yang dirasa sangat jauh. Relasi kuasa di desa begitu dekat dan nyata.

Per tanggal 17 Januari 2023 aksi demonstrasi terjadi mengenai penambahan masa jabatan kepala desa yang sebelumnya selama 6 tahun menjadi 9 tahun yang dilakukan sejumlah kepala desa di gedung DPR RI. Jabatan selama 6 tahun dianggap tidak cukup untuk menuntaskan program kerja meski kesempatan untuk menjabat bisa selama tiga periode, baik secara berturut-turut maupun tidak.

Tuntutan kepala desa ini menuai hasil pada 22 Juni 2023. Badan Legislatif DPR menyetuji perpanjangan masa jabatan kepala desa menjadi 9 tahun dan boleh menjabat sebanyak dua periode. Hal ini disetujui oleh 6 fraksi di DPR yang membahas revisis UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Penambahan masa jabatan kepala desa dianggap akan meningkatkan stabilitas di desa. Di mana ajang kontestasi di skalasi desa sering menimbulkan friksi akibat pemilihan kepala desa sehingga menghambat pembangunan dan program kerja yang ada.

Seperti kebijakan-kebijakan sebelumnya dikeluarkan hal ini mendapat pro-kontra, argurmentasi yang mendukung memang tak sepenuhnya boleh dikesampingkan tapi melihat dari sisi yang berbeda kita dapat menyematkan keraguan apabila penambahan masa jabatan benar-benar akan diterapkan. Masalah yang bisa ditimbulkan mulai dari dana desa yang rawan dikorup hingga melanggengkan oligarki akibat kekuasaan yang terlalu lama.

Alokasi pagu dana desa di kabupaten Bone misalnya, pada tahun 2021 berdasarkan data Kementerian Keuangan nilainya mencapai Rp 508.127.868.000 di mana kabupaten Bone sendiri yang terdiri dari 27 kecamatan dan 372 desa dan keluarahan, artinya dengan dana sebanyak itu setiap desa dikucurkan dana desa mendapatkan rata-rata suntikan dana desa sebesar Rp1 miliar untuk pembangunan infrastruktur dan suprastruktur.

Dana Desa Rawan Dikorupsi

Dana desa yang digelontorkan pemerintah yang anggarannya cukup besar dalam realisasinya tidak selalu untuk kepentigan warga desa untuk mensejahterakan kehidupan di desa padahal visi pemerintah dengan adanya program ini adalah agar pembangunan bersifat bottom up .Banyak kasus korupsi dana desa terjadi semenjak dana desa dikucurkan.

Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2021 ada 154 kasus korupsi di wilayah desa yang total kerugiannya bagi negara mencapai Rp233 miliar. Kerugian ini meningkat tajam di mana tahun 2015 dana desa pertama kali digelontorkan dengan 17 kasus korupsi dengan kerugian Rp10,1 miliar.

ICW juga mencatat korupsi di desa konsisten menempati urutan pertama sebagai sektor yang paling banyak terjerat korupsi. Semenjak 2015–2021 dalam waktu tujuh tahun itu ada 593 kasus korupsi di desa. dengan nilai kerugian negara mencapai angka Rp433,8 miliar. Sejalan dengan data KPK menyebut ada 601 kasus korupsi Dana Desa yang melibatkan 686 kepala desa atau perangkat desa antara tahun 2012–2021.

Lalu bagaimana dengan di kabupaten Bone? Nyatanya. sejumlah kepala desa juga tersandung kasus korupsi. Tercatat ada sejumlah kepala desa yang merugikan negara.

  • Kepala desa Pattiro Sompe kecamatan Sibulue (2017) = Pungli dan Sertifikat Program Nasional (Prona)
  • Plt kepala desa Poliwali kecamatan Kajuara (2017) = Rp300 juta
  • Kepala desa dan Plt kepala desa Pattiro Riolo kecamatan Sibulue (2016) = Rp540 juta dan Rp300 juta
  • Kepala desa Maddanrengpulu kecamatan Patimpeng (2018) = Rp463 juta
  • Kepala desa Opo kecamatan kecamatan Ajangale (2018) = Rp96 juta
  • Kepala desa Mattiro Walie kecamatan Bengo (2018) = Rp370 juta
  • Kepala desa Matajang kecamatan Dua Boccoe (2022) = Rp750 juta
  • Kepala desa Pallime kecamatan Cenrana (2022) = Rp630 juta

Penambahan masa jabatan kepala desa dikhawatirkan sebagai upaya untuk mendorong kepentingan politik, meneroka aksi demonstrasi kepala desa tidak ada warga desa yang meminta jabatan kepala desa untuk diperpanjang.

Diktum Lord Acton rupanya begitu relevan dengan berbagai kasus korupsi yang muncul kepermukaan semakin membuka mata publik setelah kematian pencetusnya. Sejarah manusia mencatat bahwa kekuasaan yang mutlak cenderung menjadikan seseorang berbuat korupsi, dan itu berlaku hingga sekarang.

“Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely” – Lord Acton.

Jabatan kepala desa dengan dana desa berlimpah sudah teramat sering merugikan negara. Bukannya diperpanjang, mereka semestinya dibatasi dengan pengawasan yang lebih ketat. Dana desa yang semestinya secara subtantif menjadi sumber pembangunan baik infrastruktur maupun untuk menjadikan desa menjadi berdikari dengan berbagai program yang menyentuh seluruh lapisan masyarakat nyatanya memiliki dua sisi; menunjang pembangunan namun rawan dikorupsi.

--

--