Merindukan sekaligus Mengabaikan Lapangan Merdeka (Bone)

Irzandi Ali
3 min readOct 11, 2020

--

nhy1004.files.wordpress.com
Lapangan Merdeka kabupaten Bone (anhy1004.wordpress.com/)

Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah pejuangan ingatan melawan lupa (Milan Kundera –Kitab Lupa dan Gelak Tawa)

Saat kali pertama menginjakkan kaki di kota, kuliah sesekali mengurbankan diri disini, saya begitu fakir soal literasi terlebih tentang sejarah kota ini, baru setelah bernaung di bawah lindungan hihi (hijau hitam) saya mulai asyik bergumul dengan buku-buku, saya ingat-ingat lagi, memang hanya ada dua buku yang pernah saya baca tentang kota ini, buku Andi Makmur Makka “Rumpa’na Bone” terbitan Kompas (2015) dan “Filosofi Arung Palakka” karya Suriadi Mappangara terbitan Ombak (2016). Walau demikian, ada beberapa buku yang sempat saya baca meski tak mengait sejarah tentang kota ini, dan buku itu bukan hasil pinjaman di Perpusatakaan Daerah Bone tentunya, yang begitu akrab dengan alur fluktuasi hidup di kota ini.

Sebenarnya kota ini, sebuah kota yang tidak terkena wabah sampar seperti yang menjamur di kota Oran dalam novel Alber Camus Sampar yang membuat orang-orang kehilangan harapan dan menuhankan ketakutan. Juga kota ini, bukan sebuah kota yang banyak ditemukan kemurungan yang menempel di wajah orang-orang yang sedang menjejal Lapangan Merdeka, kemurungan atau huzun yang beberapa kali dibicarakan oleh Orham Pamuk dalam novelnya Namaku Merah Kirmizi. Menjejal Lapangan Merdeka tentu adalah sebuah hal yang tak pernah terpisahkan bagi orang-orang yang berada di kota ini, sebuah public space di mana kita tak mesti harus selalu membuka ruang untuk setiap orang yang lewat dikehidupan, namun Lapangan Merdeka dan Bone adalah simbolisasi kota, dan keduanya tak bisa saling memunggungi. Terbesit dalam benak, memahami Bone lewat Lapangan Merdeka adalah sebuah hal yang tak salah, memahami bagaimana kondisi masyarakat dan berbagai polemik yang sedang mereka dera.

Pada Lapangan Merdeka, fragmen pertautaan hidup banyak terlihat mulai kaum dandy, pengamen imigran, keluarga harmoni, darah muda merajut asrama sampai jomblo yang hafal pancasila semua menyempatkan waktu ke sana. Tak ayal sebuah proyek megah dibangun yang menelan biaya miliaran untuk kebutuhan publik, namun pada kondisi Lapangan Merdeka yang saat ini yang telah direvitalisasi di tahun 2015 bukan hal yang bisa menjamin indeks kebahagiaan warga Bone untuk terus meningkat. Lapangan Merdeka di tengah-tengah kota bukan sebuah paradoks kehidupan, bukanlah sebuah bias ataupun polesan bedak. Pembangunan merata bukan hanya menyoal pembangunan pusat kota tapi bagaimana untuk tidak abai pada mereka yang berada dipinggiran , hanya mempercantik tatanan ruang publik tapi akses jalanan menuju kesana masih banyak retakan-retakan dan penuh lubang yang bisa menganggu kenyamanan dan mengancam saat berkendara, tentu bukan hal yang diinginkan. Proyek mercusuar yang menggelontorkan dana untuk memoles kota yang begitu serius dan abai pada yang pinggir sekali lagi adalah sebuah bias pembangunan.

Saya teringat plot-plot novel yang di bangun Ismail Kadare dalam Piramid terbitan Marjin Kiri, saat firaun muda bernama Cheops mengeluarkan pernyataan untuk menolak membangun piramida seperti para pendahulunya, namun berkat bujukan rakyat Mesir, Cheops pun berubah pikiran, pembangunan piramida merupakan hal yang begitu krusial bagi rakyat Mesir, begitu Cheops menyuarakan akan membangun piramida semua rakyat bersorak riuh namun yang terjadi kemudian dalam pembangunan piramida tersebut begitu sukar karena Cheops ingin membangun piramida yang lebih besar daripada mendiang pendahulunya dan sesuai modifikasinya yang pada akhirnya pembangunan Piramida hanya menciptakan kesengsaraan. Jika piramida nyaris mencapai puncak dan firaun berubah pikiran , piramida dibongkar dan dibangun mulai awal lagi. Pembangunan piramida penuh dengan kesengsaraan , frustrasi dan kerja paksa terjadi.

Novel Piramid memperlihatkan bagaimana pemerintah selalu punya cara untuk melanggengkan kekusasaan dengan metode-metode yang tak sesuai dengan keinginan rakyatnya. Pemerintah punya cara, agar bisa memperkokoh eksistensi, semisal membangun simboli[ku]s untuk dirinya sendiri, untuk memperpanjang ingatan “AKU” atau bahkan paling musykil membuat turnamen sepak bola sendiri-sendiri.

Lapangan Merdeka dan Piramida yang dibangun Cheops, dalam proses panjangan pembangunannya tentu tak sama, Lapangan Merdeka dibangun dengan cinta kepada warga Bone tak seperti dengan Piramida yang dibangun Cheops yang penuh dengan pemaksaan dan hasrat yang begitu berlebihan. Tetapi, dalam hal prestisius Lapangan Merdeka dan Piramid adalah sebuah proyek perpanjangan tangan sebagai bentuk simbolis kota.

Imaji yang tertancap saat menginjakkan kaki di Lapangan Merdeka, adalah sebuah imaji tentang kemakmuran dan kebahagiaan seluruh warga Bone, bukan hanya sebatas di kota, tapi semua itu (bisa) dirasakan sampai ke Bajoe, Pakkasalo hingga Teretta. Lapangan merdeka bukanlah sebuah paradoksal bagi rakyat Bone sebuah tempat yang berada dipusat kota sebagai polesan yang indah hanya dari luar. Dan pada akhirnya saya ingin memplesetkan ucapan Albert Camus : “Aku terlalu cinta pada kota ini , tak cukup hanya dengan puja-puji”.

--

--